Senin, 28 November 2011

Asuhan Keperawatan (Askep) Meningitis


Secara ringkas, pengertian dari meningitis adalah inflamasi pada meningen atau membran (selaput) yang mengelilingi otak dan medula spinalis. Penyebab meningitis meliputi:
1) bakteri, piogenik yang disebabkan oLeh bakteri pembentuk pus, terutama meningokokus, pneumokokus, dan basil influensa;
2) virus, yang disebabkan oleh agens-agens virus yang sangat bervariasi; dan
3) organisme jamur.
Patofisioiogi
Patofisiologi klien dengan meningitis dapar dilihat pada gambar di bawah ini:
Patofisiologi Meningitis
Anamnesis
Anamnesis pada meningitis meliputi keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan pengkajian psikososial (pada anak perlu dikaji dampak hospitalisasi.
Keluhan utama
Hal yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta pertolongan keschatan adalah suhu badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Di sini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai terjadinya serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien dengan meningitis biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan akibat infeksi dan peningkatan tekanan intrakranial. Keluhan tersebut di antaranya sakit kepala dan demam adalah gejala awal yang sering. Sakit kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi meningen. Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang dan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan meningitis bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan awal adanya penyakit. Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya penyakit, demikian pula respons individu terhadap proses fisiologis. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma. Pengkajian lainnya yang perlu ditanyakan seperti riwayat selama menjalani perawatan di RS, pernahkah menjalani tindakan invasif yang memungkinkan masuknya kuman ke meningen terutama tindakan melalui pembuluh darah.
Riwayat Penyakit Terdahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya huhungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami infeksi jalan napas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, tindakan bedah saraf, riwayat trauma kepala dan adanya pengaruh immunologis pada masa sebelumnya. Riwayat sakit TB paru perlu ditanyakan kepada klien terutama jika ada keluhan batuk produktif dan pernah menjalani pengobatan obat anti tuberkulosis yang sangat berguna untuk mengidentifikasi meningitis tuberkulosa. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien meningitis meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Sebagian besar pengkajian ini dapat diselesaikan melalui interaksi menyeluruh dengan klien dalam pelaksanaan pengkajian lain dengan memberi pertanyaan dan tetap melakukan pengawasan sepanjang waktu untuk menentukan kelayakan ekspresi emosi dan pikiran. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stres, meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
Pada pengkajian pada klien anak perlu diperhatikan dampak hospitalisasi pada anak dan family center. Anak dengan meningitis sangat rentan rerhadap tindakan invasif yang sering dilakukan untuk mengurangi keluhan, hal ini memberi dampak stres pada anak dan menyebabkan anak kurang kooperatif terhadap tindakan keperawatan dan medis. Pengkajian psikososial yang terbaik dilaksanakan saat observasi anak-anak bermain atau selama berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak sering kali tidak mampu untuk mengekspresikan perasaan mereka dan cenderung untuk memperlihatkan masalah mereka melalui tingkah laku.
Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital (TTV)
Pada klien meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh tubuh dari normal 38-41° C, dimulai pada fase sistemik, kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK. Jika disertai peningkatan frekuensi napas sering kali berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan sebelum mengalami meningitis. Tekanan darah (TD) biasanya normal atau meningkat dan berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK.
B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi napas yang sering didapatkan pada klien meningitis yang disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan. Palpasi toraks hanya dilakukan jika terdapat deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi pleura massif (jarang terjadi pada klien dengan meningitis). Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer dari paru.
B2 (Mood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan pada klien meningitis pada tahap lanjOt seperti apabila klien sudah mengalami renjatan (syok). Infeksi fulminasi terjadi pada sekitar 10% klien dengan meningitis meningokokus, dengan tanda-tanda septikemia: demam tinggi yang tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar (sekitar wajah dan ekstremitas), syok dan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (CID). Kematian mungkin terjadi dalam beberapa jam setelah serangan infeksi.
B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Pengkajian Tingkat Kesadaran. Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkar kewaspadaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persaralan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
Pengkajian Fungsi Serebral.
Status mental: observasi penampilan, tingkah laku, nilai gays bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
Pengkajian Saraf Kranial. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf I-XII.
• Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
• Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan terurama pada meningitis supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya pen ingka tan TIK berlangsung lama.
• Sarni III, IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut meningitis yang retail mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akin didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien meningitis mengelith mengalami fotofobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya.
• Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
• Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
• Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
• Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
• Sara XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Adanya usaha dad klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk (rigiditas nukal)
• Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan, dan koordinasi pada meningitis tahap lanjut mengalami perubahan.
Pengkajian Refleks. Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum arau periosteum derajat refleks pada respons normal. Refleks patologis akan didapatkan pada klien meningitis dengan tingkat kesadaran koma. Adanya refleks Babinski (+) merupakan tanda lesi UMN.
• Gerakan Involunter Tidak ditemukan adanya tremor, tic, dan distonia. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, rerutama pada anak dengan meningitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan meningitis. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
Pengkajian Sistem Sensorik. 
Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi raba, nyeri, suhu yang normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh, sensasi propriosefsi, dan diskriminarif normal.
Pemeriksaan fisik lainnya terutama yang herhubungan dengan peningkatan TIK (tekanan intrakranial). Tanda-tanda peningkatan TIK sekunder akibat eksudat purulen dan edema serebral terdiri atas: perubahan karakterisrik tanda-tanda vital (melebarnya tekanan nadi dan bradikardia). Pernapasan tidak teratur, sakit kepala, muntah, dan penurunan tingkat kesadaran. Adanya ruam merupakan salah satu ciri yang mencolok pada meningitis meningokokus (neisseria meningitis). Sekitar setengah dari semua klien dengan ripe meningitis mengembangkan lesi-lesi pada k Mit di antaranya roam petekie dengan lesi purpura sampai ekimosis pada daerah yang luas. lritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali yang umumnya terlihat pada semua ripe meningitis. Tanda tersebut adalah kaku kuduk, tanda Kernig (+), dan adanya tanda Brudzinski.
• Kaku Kuduk
Kaku kuduk merupakan tanda awal. Adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesulitan karena adanya spasme otot-otot leher. Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat.
• Tanda Kernig Positif
Ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi ke arab abdomen, kaki tidak dapat diekstensikan sempurna.
• Tanda Brudzinski
Tanda ini didapatkan jika !cher klien difleksikan, terjadi fleksi lutut dan pinggul; jika dilakukan fleksi pasif pada eksrremitas bawah pada salah satu sisi, gerakan yang sama terlihat pada sisi ekstremitas yang berlawanan.
B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
B5 (Bowel)
Mual sampai munrah disebabkan peningkatan produksi asam lambung. Pementihan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
B6 (Bone)
Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lunit dan pergetangan kaki). Petekia dan lesi purpura yang didahului oleh roam. Pada pen ya kit yang berat dapat ditemukan ekimosis yang besar pada wajah dan ekstremitas. Klien sering mengalami penurunan kekuatan otot dan kelernahan fisik secara mum sehingga mengganggu ADL.
Pengkajian pada Anak
Pengkajian pada anak sedikit berbeda dengan klien dewasa, hal ini disebabkan pengkajian anamnesis lebih banyak pada orang tua dan pemeriksaan fisik yang berbeda karena belum sempurnanva organ pertumbuhan terutama pada neonatus. Pengkajian yang biasa didapatkan pada anak bergantung pada luasnya penyebaran infeksi di meningen dan usia anak. Hal lain yang memengaruhi klinis pada anak adalah jenis organisme yang menginvasi meningen dan seberapa keefektifan pemberian dari terapi, dalam hal ini adalah jenis antibiotik yang dipakai sangat berpengaruh terhadap klinis pada anak. Untuk memudahkan penilaian klinis, gejala pada meningitis pada anak dibagi menjadi tiga, yaitu anak, bayi, dan neonatus.
Pada anak manifestasi klinis timbulnya sakit secara tiba-tiba, adanya demam, sakit kepala, papas dingin, muntah, dan kejang-kejang. Anak menjadi rewel ‘Jan agitasi, serta dapat berkembang fotofobia, delirium, halusinasi, tingkah laku yang agresif atau mengantuk stupor dan koma. Gejala atau gangguan pada sistem pernapasan atau gastrointestinal seperti sesak napas, muntah dan diare. Tanda yang khas adalah adanya tahanan pada kepala jika difleksikan, kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski (+). Akibat perfusi yang tidak optimal biasanya memberikan tanda klinis kulit dingin dan sianosis. Gejala lainnya yang lebih spesifik seperti peteki (adanya purpura pada kulit) sering didaparkan apabila anak mengalami infeksi meningokokus (meningokoksemia), keluarnya cairan dari telinga merupakan gejala khas pada anak yang mengalami meningitis pneumococal dan congenital dermal sinus terutama disebabkan oleh infeksi E. Colli.
Pada bayi manifestasi klinisnya biasanya tampak pada anak usia 3 bulan sampai 2 tahun dan sering ditemukan adanya demam, nafsu makan menurun, muntah, newel, mudah lelah dan kejang-kejang, sena menangis meraung-raung. Tanda khas di kepala adalah fontanel menonjol. Regiditas nukal merupakan tanda meningitis pada anak, sedangkan tanda-tanda Brudzinski dan Kernig dapat terjadi namun lambat atau ada pada kasus meningitis tahap lanjut.
Pada neonatus biasanya masih sulit untuk diketahui karena manifestasi klinisnya tidak jelas dan tidak spesifik, namun pada beberapa keadaan gejalanya mempunyai kemiripan dengan anak yang lebih tua, neonatus biasanya menolak untuk makan, kemampuan untuk menetek buruk, gangguan gastrointestinal berupa muntah dan kadang-kadang diare. Tonus otot lemah, pergerakan melemah dan kekuatan menangis melemah. Pada kasus lanjut terjadi hipothermia/demam, ikterus, rewel, mengantuk, kejang-kejang, frekuensi napas yang tidak teratur/ apnoe, sianosis dan penurunan bcrat bahan, tanda fontanel menonjol mungkin ada atau tidak. Leher fleksibel dan tidak didaparkan adanya kaku kuduk. Pada fase yang lebih berat, terjadi kolaps kardiovaskular, kejang dan apnoe biasanya terjadi jika tidak diobati atau tidak dilakukan tindakan yang cepat.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik rutin pada klien meningitis, meliputi laboratoriurn klinik rutin (Hb, leukosit, LED, trombosit, retikulosit, glukosa). Pemeriksaan faal hemostasis diperlukan untuk mengetahui secara dini adanya DIC. Serum elektrolir dan glukosa dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisis cairan otak. Lumbal pungsi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Analisis cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa. Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya, kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis kadar glukosa cairan otaknya menu run dari nilai normal.
Untuk lebih spesifik mengetahui jenis mikroba, organism penyebab infeksi dapat diidentifikasi melalui kultur kuman pada cairan serebrospinal dan darah. Counter Immuno Electrophoreses (CIE) digunakan secara luas untuk mendeteksi antigen hakteri pada cairan tubuh, umumnya cairan serebrospinal dan urine.
Pemeriksaan lainnya diperlukan sesuai klinis klien, meliputi foto rontgen paru, dan CT scan kepala. CT scan dilakukan untuk menentukan adanya edema serebral atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah.
Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu menyesuaikan dengan standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang berguna sehagai bahan kolaborasi dengan tim medis. Secara ringkas penatalaksanaan pengobatan meningitis, meliputi pemberian antibiotik yang mampu melewati darah—barier otak ke dalam ruang subaraknoid dalam konsentrasi yang cukup untuk menghentikan perkembangbiakan bakteri. Biasanya menggunakan sefalnposforin generasi keempat arau sesuai dengan hasil uji resistensi antibiotik agar pemberian antimikroba lebih efektif digunakan.
Diagnosis Keperawatan
1. Risiko peningkatan TiK yang berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema screbral.
2. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan inflamasi dan edema pada otak dan men ingen.
3. Ketidakelektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan akumulasi
sekret, penurunan kemampuan battik, dan peruhahan tingkat kesadaran.
4. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan perubahan tingkat
kesadaran, depresi pada pusat napas di otak.
5. Gangguan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan infeksi meningokokus.
6. Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi pada meninges dan jaringan otak.
7. Hipertemia yang berhubungan dengan inflamasi pada meninges, peningkatan metabolisme umum.
8. Risiko tinggi deficit caftan yang berhubungan dengan muntah dan demam.
9. Risiko tinggi pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan asupan nutrisi tidak adekuat, mual, dan muntah.
10. Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan kejang berulang, fiksasi kurang optimal.
11. Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum.
12. Risiko tinggi koping individu dan keluarga tidak efektif yang berhubungan prognosis penyakit.
13. Ansietas yang berhubungan dengan parahnya kondisi.
Perencanaan
Sasaran klien dapat meliputi adanya peningkatan perfusi jaringan ke otak dan tidak terjadinya peningkatan TIK.

Asuhan Keperawatan Bayi Ikterus


Pengkajian
Riwayat penyakit. Terdapat riwayat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah ABO). Polisitemia, infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita DM.

Temuan fisik

Ikterus terlihat pada sklera, selaput lendir, kulit berwarna merah tua, urine pekat warna seperti teh, letargi, hipotonus, refleks mengisap kurang, peka rangsang, tremor, kejang, tangisan melengking.
Laboratorium
Rh darah ibu dan janin berlainan. Kadar bilirubin bayi aterm lebih dari 12,5 mg/dL, prematur lebih 15mg/dL.
Dilakukan tes Comb.
Setelah didapatkan data berdasarkan pengkajian di atas, data tersebut dianalisis. Selanjutnya semua masalah yang ditemukan dirumuskan menjadi diagnosa keperawatan. Selanjutnya dibuat rencana untuk mengatasi masalah sesuai diagnosa keperawatan. Setelah intervensi dilakukan, evaluasi untuk menilai sejauh mana keberhasilan intervensi yang dilakukan. Untuk mempermudah pemahaman tahapan asuhan keperawatan (askep) bayi ikterus dimulai dari diagnosa keperawatan diakhiri dengan evaluasi. Tahapan asuhan keperawatan tersebut kami tampikan dalam uraian di bawah ini.
Diagnosa keperawatan
1. Potesial cedera kernikterus yang berhubungan dengan peningkatan kadar bilirubin.
2. Potensial kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan terapi sinar.
3. Diare yang berhubungan dengan terapi sinar.
4. Potensial ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang berhubungan dengan transfusi tukar.
5. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan ikterus dan diare
Intervensi
1. Observasi ikterus.
2. Lakukan pemeriksaan dengan bilirubin meter transkutan.
3. Pantau hasil pemeriksaan laboratorium.
4. Berikan minum, dengan frekuensi sering, pantau asupan, bila perlu tingkatkan 25% dari kebutuhan normal pantau haluaran dan turgor kulit.
5. Laksanakan fototerapi sesuai anjuran.
6. Tidurkan bayi tanpa pakaian 20 cm di bawah lampu
7. Pasang penutup mata, tiap 4 jam matikan lampu lepaskan penutup mata untuk memantau kondisi mata dan memberi rangsangan visual.
8. Pantau suhu tubuh bayi dan suhu inkubator.
9. Pantau area bokong dan feses.
10. Upayakan kulit selalu bersih dan kering, catat warna dan kondisi kulit tiap 8 jam dan pada saat perawatan
11. Ubah posisi tiap 2 jam
12. Berikan orang tua kesempatan untuk berinteraksi.
13. Siapkan bayi untuk transfusi tukar.
14. Bantu pemasukan kateter.
15. Bantu pengumpulan contoh darah.
16. Periksa kembali hasil pemeriksaan tipe darah.
17. Hangarkan darah sesuai prosedur.
Evaluasi
1. Tidak terjadi kernikterus pada nenonatus.
2. Tanda vital dan suhu tubuh bayi stabil dalam batas normal.
3. Keseimbangan cairan dan elektrolit bayi terpelihara.
4. Integritas kulit baik/utuh.
5. Bayi menunjukkan partisipasi terhadap rangsangan visual.
6. Terjalin interaksi bayi dan orang tua.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU POST PARTUM (MASA NIFAS)

Pengertian
•Nifas / puerperium: periode waktu / masa dimana organ-organ reproduksi kembali ke k
eadaan sebelum hamil.
•Dimulai setelah kelahiran placenta, berakhir saat alat kandungan kembali ke keadaan sebelum hamil.
•Waktu sekitar 6 minggu
•Involusi: proses perubahan organ repro.
•Masa nifas normal: involusi uterus, pengeluaran lokia, pengeluaran ASI dan perubahan sistem tubuh termasuk keadaan psikologis normal.
Periode nifas, dibagi 3:
•Immediate puerperium
Segera setelah persalinan sampai 24 jam setelah persalinan.
•Early puerperium
1 hari – 7 hari setelah melahirkan.
•Later puerperium
Waktu 1 minggu – 6 minggu setelah melahirkan.
Perubahan / adaptasi masa nifas
• Involusi uterus dan pengeluaran lochea.
• Perubahan fisik
• Lactasi
• Perubahan sistem tubuh
• Perubahan psikologis
Perubahan fisik dan fisiologis
• Uterus
• Lochea
• Serviks
• Vulva dan vagina
• Perineum
• Kembalinya ovulasi dan menstruasi
• Dinding perut dan peritonium
• Laktasi
• Sistem gastrointestinal
• Traktus urinarius
• Sistem kardiovaskuler
• Tanda vital
• Darah
• Berat badan
• Menggigil
• Post partum
• Diaphoresis
• Afterpains
Involusi disebabkan oleh:
• Iskemia : Kontraksi dan retraksi serabut otot uterus yang terjadi terus-menerus → kompresi pembuluh darah dan anemia setempat.
• Otolisis : Sitoplasma sel yang berlebih akan tercerna sendiri.
• Atrofi : Jaringan yang berproliferasi dengan adanya estrogen jumlah besar → atrofi karena penghentian estrogen.
Bekas luka plasenta → sembuh dalam 6 minggu
Perlambatan – disebut sub involusio – gejala :
• Lochea menetap / merah segar
• Penurunan fundus uteri lambat
• Tonus uteri lembek
• Tidak ada perasaan mules.
Segera setelah persalinan – perlu pengawasan
• Jam I : tiap 15 menit
• Jam II : tiap 30 menit
• Jam III – IV : 2x
• Selanjutnya : tiap 8 jam
Pengeluaran Lokia (Lochea)
Lochea : sekret yang berasal dari kavum uteru dan vagina dalam masa nifas
Jenis :
• Lochea rubra / lochea kruenta :
o Keluar pada hari 1-3
o Warna merah, hitam
o T.a : darah bercampur sisa-sisa selaput ketuban, sel desidua, sisa verniks c, lanugo dan mekonium.
• Lochea sanguinolenta :
o Keluar hari 3-7
o Darah bercampur lendir
• Lochea serosa :
o Keluar hari 7-14
o Warna kekuningan
• Loceha alba :
o Keluar setelah hari 14
o Warna putih
Bau lokia agak amis → bau busuk : infeksi
Lokiostasis (lokia tidak lancar keluar)
Perubahan Fisik
Serviks : menutup
• Segera setelah lahir – tangan pemeriksa masih dapat masuk kavum uteri.
• 2 jam setelah bayi lahir : dapat dimasukkan 2-3 jari
• 1 minggu : masuk 1 jari
• Setelah 1 minggu : serviks menutup.
Vulva dan vagina :
Mula-mula kendor, setelah 3 minggu kembali ke kondisi sebelum hamil dan rugae vagina mulai muncul, labia lebih menonjol.
Himen – ruptur → karunkulae mirtiformis
Perineum :
Mula-mula kendor karena teregang oleh tekanan kepala bayi yang bergerak maju saat persalinan. Setelah 5 hari tonus mulai kembali tetapi tidak sekencang sebelum hamil.
Kembalinya ovulasi dan menstruasi :
• Pada ibu yan menyusui : menstruasi akan terjadi sekitar minggu ke 6-8 pp.
• Ibu menyusui : 45% menstruasi setelah 12 mg dan akan terjadi menstruasi anovulatory 1 x atau lebih (80% ibu menyusui) → terjadi infertilitas.
Dinding perut dan peritonium
Karena regangan menjadi kendor, termasuk ligamen-ligamen – ligamen rotundum – sehingga kadang-kadang menyebabkan uterus jatuh kebelakang → perlu latihan untuk mengembalikan tonus, dapat dilakukan setelah hari II PP.
Payudara – lactasi
Mencapai maturitas penuh selama masa nifas kecuali jika lactasi disupresi. Payudara → lebih besar, lebih kencang dan mula-mula nyeri tekan sebagai reaksi terhadap eprubahan status hormonal dan dimulainya lactasi.
Perubahan-perubahan payudara → lactasi : → hamil
• Proliferasi jaringan – untuk kelenjar-kelenjar dan alveolus mamma, lemak.
• Pada ductus lactiferus terdapat cairan yang kadang-kadang dapat dikeluarkan berwarna kuning (colostrum)
• Hipervaskularisasi – terdapat pada permukaan dan bagian dalam mamma.
Perubahan Sistem Tubuh
Sistem Gastrointestinal :
• Pada awal klien merasa lapar
• Kadang diperlukan waktu 3-4 hari – faat usus N
• Rangsang BAB secara normal terjadi 2-3 hari → karena kemampuan asupan makanan menurunkan gerakan tubuh berkurang, pengosongan usus sebelum melahirkan (lavemen), rasa sakit di daerah perineum.
Traktus Urinarius :
Pada 24 jam setelah lahir kadang terjadi kesulitan BAK karena spasme sfinkter dan edema pada VU karena kompresi antara kepala janin dan os pubis selama persalinan
Urin dalam jumlah besar akan dihasilkan dalam waktu 12-36 jam PP → pengaruh hormon estrogen menurunkan diuresis
Sistem Kardiovaskuler :
• Volume darah kembali ke keadaan tidak hamil
• Jumlah sel darah merah dan kadar Hb kembali normal pada hari ke-5.
• Terjadi penurunan cardiac output dan akan kembali normal dalam 2-3 minggu.
Perubahan Lain
Tanda Vital :
Suhu :
• Suhu ♀ inpartu tidak lebih 37,2ºC
• PP tidak naik ± 0,5ºC dari keadaan normal tapi tidak lebih dari 38,0ºC → infeksi (>).
• Normal setelah 12 jam PP
Nadi :
• Berkisar 60-80 x/mnt. Setera setelah melahirkan dapat terjadi bradikardi. Masa nifas umumnya nadi lebih dari suhu
• Kadang terjadi hipertensi post partum → hilang setelah 2 bulan.
Berat badan
• Segera setelah melahirkan BB turun 5-6 kg karena pengeluaran bayi, plasenta, air ketuban.
• Masa nifas dini BB menurun ± 2,5 kg, karena puerpera diuresis.
• 6-8 mg PP BB akan normal
Afterpains (mules setelah persalinan)
• terjadi selama 2-3 hari PP
• karena kontraksi uterus, nyeri bertambah pada saat menyusui.
• Nyeri timbul bila masih terdapat sisa-sisa selaput ketuban, sisa plasenta atau gumpalan darah dalam kavum uteri.
Perubahan Psikologis
• Karena adanya perubahan hormonal, terkurasnya cadangan fisik untuk hamil dan melahirkan, keadaan kurang tidur, lingkungan yang asing, kecemasan akan bayi, suami atau anak yang lain.
• Setelah bayi lahir → masa transisi bayi + orangtua untuk membin hubungan.
Masa transisi yang harus diperhatikan pada masa PP :
• Phase honeymoon
Phase setelah anak lahir, terjadi intimasi dan kontak yang lama antara ibu – ayah – anak → “psikis honeymoon” masing-masing saling memperhatikan anaknya dan menciptakan hubungan yang baru.
• Bonding and Attachment (ikatan kasih)
Terjadi pada kala IV, diadakan kontak antara ibu – ayah – anak dan tetap dalam ikatan kasih.
Partisipasi suami dalam proses persalinan merupakan salah satu upaya untuk proses ikatan kasih.
• Phase pada masa nifas
Rubin (1963), mengidentifikasi 3 tahap perilaku ♀ ketika beradaptasi dengan perannya:
o Phase “Taking In”
o Phase “Taking Hold”
o Phase “Letting Go”
o Phase “Taking In”
 Perhatikan ibu tempat terhadap kebutuhan dirinya – minta diperhatikan – pasif dan ketergantungan, tidak ingin kontak dengan bayi tapi bukan berarti tidak memperhatikan. Menginginkan informasi tentang bayi, mengenang pengalaman melahirkan.
 Berlangsung 1-2 hari
 Bufas perlu istirahat, makan, minum adekuat.
o Phase “Taking Hold”
 Ibu berusaha mandiri berinisiatif, penyesuaian fungsi tubuh, mulai duduk, jalan, belajar tentang perawatan dirinya dan bayi, timbul rasa kurang PD.
 Berlangsung ± 10 hari.
o Phase “Letting Go”
 Ibu merasakan bahwa bayinya terpisah dari dirinya, mempunyai peran dan tanggung jawab baru, terjadi peningkatan dalam perawatan diri dan bayinya, penyesuaian dalam hubungan keluarga.
Masalah kesehatan jika yang sering dialami pada ibu PP
• Murung pasca melahirkan (post partum blues)
o Sering dimanifestasikan pada hari ketiga atau ke 4, memuncak pada hari ke 5 – 14 PP.
o Gejala meliputi : episode menangis, merasa sangat lelah, insomnia, mudah tersinggung, sulit konsentrasi.
• Depresi pasca melahirkan (post partum depression)
o 25% dialami ibu PP
o Gejala dini pada 3 bulan pertama PP sampai bayi berusia 1 tahun.
o Etiologi : belum pasti, penelitian : faktor biologis perubahan hormonal, faktor psikolgis, faktor sosial seperti tidak mendapat dukungan suami, hubungan perkawinan tidak harmonis.
• Psikosa pasca melahirkan (post partum psychosis)
o Jarang terjadi pada ibu dengan abortus, tubuh bayi dalam kandungan / lahir.
o Gejala terlihat dalam 3-4 minggu setelah melahirkan berupa: delusi, halusinasi dan perilaku yang tidak wajar.
o Penyebab mungkin berhubungan: perubahan tingkat hormonal, stress psikologis dan fisik, sifat pendukung tidak memadai

Bronkopneumonia


Pengertian
 Bronkopneumonia adalah peradangan umum dari paru-paru, juga disebut sebagai pneumonia bronkial, atau pneumonia lobular. Peradangan dimulai dalam tabung bronkial kecil – bronkiolus, dan tidak teratur menyebar ke alveoli peribronchiolar dan saluran alveolar. Hasilnya adalah bahwa perubahan inflamasi menyebabkan konsolidasi peradangan lokal di bronkiolus dan alveoli sekitarnya dari paru-paru.
Penyebab bronkopneumonia
 Sebagian besar, broncho-pneumonia disebabkan oleh infeksi bakteri, terutama bakteri piogenik yang membentuk pneumonia supuratif. Adenovirus, virus influenza, Mycoplasma pneumoniae juga memainkan peran.
 Bronkopneumonia sering terjadi karena daya tahan tubuh rendah dan fungsi pertahanan gangguan saluran pernapasan. Jadi, anak-anak, orang lansia dan orang-orang yang sering sakit-sakitan atau lemah merupakan populasi yang rentan terkena.
Pada umunya Bronkopneumonia ini terjadi pada anak-anak.
Interfensi Keperawatan
Sejarah Medis
Sejarah infeksi saluran pernafasan: batuk, pilek, demam.
Anorexia, kesulitan menelan, mual dan muntah.
Sejarah penyakit kekebalan terkait seperti gizi buruk.
Anggota keluarga yang lain memiliki penyakit saluran pernapasan.
Batuk produktif, napas cepat dan dangkal, gelisah, sianosis.
Pemeriksaan fisik
Demam, takipnea, sianosis, pernapasan cuping hidung.
Auskultasi paru-paru basah
Laboratorium leukositosis, peningkatan laju sedimentasi eritrosit atau normal.
Abnormal sinar-X dada (bercak, konsolidasi yang tersebar pada kedua paru-paru).
Faktor psikologis / perkembangan memahami tindakan
Usia tingkat perkembangan.
Toleransi / kemampuan untuk memahami tindakan.
Coping.
Pengalaman terpisah dari keluarga / orang tua.
Pengalaman sebelumnya infeksi saluran pernapasan.
Pengetahuan keluarga / orang tua.
Pengetahuan keluarga tentang penyakit pernapasan.
Pengalaman keluarga tentang penyakit saluran pernapasan.
Kesiapan / kemauan keluarga merawat seorang anak untuk belajar.

Peran dan Fungsi perawat

Peran Perawat

Merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukan dalam sistem, dimana dapat dipengartuhi oleh keadaan sosial baik dari profesi maupun diluar profesi keperawatan yang bersifat konstan. Peran perawat menurut konsirsium ilmu kesehatan tahun 1989 terdiri dari :

a.   Peran Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhann dasar manusia yang dibutuhkan  melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya.

b.   Peran Perawat sebagai advokat klien
Peran ini dilakukan oleh perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterprestasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.
c.   Peran Perawat sebagai Edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
d.   Peran Perawat sebagai koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.
e.   Peran Perawat sebagai kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
f.    Peran Perawat sebagai Konsultan
Peran ini sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Pertan ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.
g.   Peran Perawat sebagai Pembaharuan
Peran ini dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.
Selain peran perawat berdasarkan konsirsium ilmu kesehatan, terdapat pembagian peran perawat menurut hasil lokakarya keperawatan tahun 1983, yang membagi empat peran perawat:
a.   Peran Perawat sebagai Pelaksana Pelayanan Keperawatan
Peran ini dikenal dengan peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara langsung atau tidak langsung kepada klien sebagai individu, keluarga, dan masyarakat, dengan metoda pendekatan pemecahan masalah yang disebut proses keperawatan.
b.   Peran Perawat sebagai Pendidik dalam Keperawatan
Sebagai pendidik, perawat berperan dalam mendidik individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat serta tenaga kesehatan yang berada di bawah tanggung jawabnya. Peran ini berupa penyuluhan kepada klien, maupun bentuk desiminasi ilmu kepada peserta didik keperawatan.
c.   Peran Perawat sebagai Pengelola pelayanan Keperawatan
Dalam hal ini perawat mempunyai peran dan tanggung jawab dalam mengelola pelayanan maupun pendidikan keperawatan sesuai dengan manajemen keperawatan dalam kerangka paradigma keperawatan. Sebagai pengelola, perawat melakukan pemantauan dan menjamin kualitas asuhan atau pelayanan keperawatan serta mengorganisasikan dan mengendalikan sistem pelayanan keperawatan. Secara umum, pengetahuan perawat tentang fungsi, posisi, lingkup kewenangan, dan tanggung jawab sebagai pelaksana belum maksimal.
d.   Peran Perawat sebagai Peneliti dan Pengembang pelayanan Keperawatan
Sebagai peneliti dan pengembangan di bidang keperawatan, perawat diharapkan mampu mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metode penelitian, serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau pelayanan dan pendidikan keperawatan. Penelitian di dalam bidang keperawatan berperan dalam mengurangi kesenjangan penguasaan teknologi di bidang kesehatan, karena temuan penelitian lebih memungkinkan terjadinya transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, selain itu penting dalam memperkokoh upaya menetapkan dan memajukan profesi keperawatan.
Fungsi Perawat
Fungsi Perawat Meliputi :
a.   Fungsi Independen
Dalam fungsi ini, tindakan perawat tidak memerlukan perintah dokter. Tindakan perawat bersifat mandiri, berdasarkan pada ilmu keperawatan. Oleh karena itu, perawat bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul dari tindakan yang diambil. Contoh tindakan perawat dalam menjalankan fungsi independen adalah:
1)   Pengkajian seluruh sejarah kesehatan pasien/keluarganya dan menguji secara fisik untuk menentukan status kesehatan.
2)   Mengidentifikasi tindakan keperawatan yang mungkin dilakukan untuk memelihara atau memperbaiki kesehatan.
3)   Membantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
4)   Mendorong untuk berperilaku secara wajar.
b.   Fungsi Dependen
Perawat membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan dokter, seperti pemasangan infus, pemberian obat, dan melakukan suntikan. Oleh karena itu, setiap kegagalan tindakan medis menjadi tanggung jawab dokter. Setiap tindakan perawat yang berdasarkan perintah dokter, dengan menghormati hak pasien tidak termasuk dalam tanggung jawab perawat.
c.   Fungsi Interdependen
Tindakan perawat berdasar pada kerja sama dengan tim perawatan atau tim kesehatan. Fungsi ini tampak ketika perawat bersama tenaga kesehatan lainnya berkolaborasi mengupayakan kesembuhan pasien. Mereka biasanya tergabung dalam sebuah tim yang dipimpin oleh seorang dokter. Sebagai sesama tenaga kesehatan, masing-masing tenaga kesehatan mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien sesuai dengan bidang ilmunya. Dalam kolaborasi ini, pasien menjadi fokus upaya pelayanan kesehatan. Contohnya, untuk menangani ibu hamil yang menderita diabetes, perawat bersama tenaga gizi berkolaborasi membuat rencana untuk menentukan kebutuhan makanan yang diperlukan bagi ibu dan perkembangan janin. Ahli gizi memberikan kontribusi dalam perencanaan makanan dan perawat mengajarkan pasien memilih makan sehari-hari. Dalam fungsi ini, perawat bertanggung jawab secara bersama-sama dengan tenaga kesehatan lain terhadap kegagalan pelayanan kesehatan terutama untuk bidang keperawatannya.